LIMBAH DIDUGA B3 DAN BARANG BEKAS MASUK BATAM: PUBLIK DESAK BEA CUKAI BUKA TRANSPARANSI PENGAWASAN JALUR HIJAU
Batam24.com l Batam – Dalam bulan ini, publik Batam diguncang oleh dua peristiwa besar yang menimbulkan tanda tanya besar terhadap sistem pengawasan di pelabuhan resmi. Pertama, temuan ratusan kontainer berisi limbah yang diduga termasuk kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan kedua, penangkapan kontainer berisi barang bekas (barang seken) oleh jajaran Polresta Barelang. Dua kasus ini menjadi sorotan tajam dan viral di berbagai media lokal.
Diketahui, kedua kasus tersebut melibatkan wilayah hukum yang menjadi tanggung jawab Bea Cukai Batam, karena barang-barang itu masuk melalui jalur hijau pelabuhan resmi, yang seharusnya diawasi secara ketat oleh otoritas berwenang.
Publik pun mempertanyakan, apakah mungkin pihak Bea Cukai tidak mengetahui adanya aktivitas mencurigakan berskala besar seperti ini? Jika memang tidak tahu, berarti sistem pengawasan di pelabuhan resmi patut dievaluasi. Namun jika tahu, maka muncul dugaan adanya pembiaran bahkan keterlibatan oknum dalam praktik yang merugikan negara dan mencemari lingkungan tersebut.
Saat ini, kasus limbah B3 tengah dilidik oleh Polda Kepri, sementara kasus barang bekas ditangani Polresta Barelang. Masyarakat menunggu kelanjutan penanganan dua perkara ini—apakah benar-benar diproses secara hukum hingga ke pengadilan, atau justru berakhir menjadi “cerita klasik” tanpa kepastian hukum.
Penulis melihat dinamika dua kasus ini bagaikan pertarungan kepentingan dua kubu besar—ibarat “Rusia dan Amerika” yang sama-sama memiliki kepentingan berbeda namun saling membutuhkan. Di satu sisi ada “limbah B3”, di sisi lain ada “barang bekas”. Jika kedua arus ini saling bertemu di Batam, bukan tidak mungkin kota ini menjadi “tempat akhir” pembuangan material berbahaya terselubung dengan kedok aktivitas ekonomi.
Lebih jauh, inti persoalan tetap bermuara pada peran Bea Cukai Batam sebagai pengawas barang masuk dari luar negeri. Jika lembaga ini tidak disentuh atau dimintai pertanggungjawaban, maka dugaan konspirasi sistemik kian menguat.
Apakah kasus ini merupakan benturan kepentingan antar oknum, permainan bisnis gelap, atau hanya pengalihan isu dari perkara lain? Masyarakat tentu hanya bisa menafsirkan dan menunggu pembuktian hukum.
Namun bagi penulis, dua kasus ini menggambarkan pepatah lama yang masih relevan hingga kini:
“Jeruk makan jeruk, maling teriak maling.”
(Rara)


