Gubernur Kepri Temui Menteri Keuangan: Antara Logika Fiskal dan Realitas Kepulauan
Batam24.com l Jakarta – Pertemuan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), H. Ansar Ahmad, dengan Menteri Keuangan RI di Jakarta mencerminkan tarik-menarik antara logika fiskal pemerintah pusat dan realitas geografis wilayah kepulauan.
Rencana pemangkasan Dana Transfer Pusat sebesar Rp534 miliar untuk Kepri pada tahun 2026 menimbulkan kekhawatiran, bukan sekadar karena soal angka, tetapi karena menyangkut keadilan fiskal bagi daerah yang hidup di antara laut dan perbatasan.
Bagi Kementerian Keuangan, kebijakan tersebut mungkin tampak logis dalam kerangka penataan anggaran nasional, pengendalian defisit, serta efisiensi transfer dana. Namun, logika “matematis” itu menjadi timpang ketika diterapkan pada provinsi seperti Kepri yang memiliki 2.408 pulau dengan biaya pelayanan publik jauh lebih tinggi dibandingkan daerah daratan.
“Di atas kertas, efisiensi. Namun di lapangan, efisiensi semacam itu bisa berubah menjadi penghematan yang menyakitkan,” ujar seorang pejabat daerah Kepri yang enggan disebutkan namanya.
Pemangkasan dana tidak hanya berdampak pada proyek infrastruktur, tetapi juga pada pelayanan dasar dan kesejahteraan aparatur daerah. Menkeu dinilai melihat Kepri melalui tabel Excel, bukan dari peta Nusantara. Padahal, setiap pulau di Kepri merupakan wajah depan Indonesia di hadapan negara tetangga.
Setiap pelabuhan dan dermaga kecil bukan sekadar simpul ekonomi, tetapi juga simbol kedaulatan bangsa.
Mengurangi dana transfer tanpa mempertimbangkan karakter wilayah kepulauan sama saja dengan menutup mata terhadap fakta bahwa membangun satu jembatan di Kepri bisa menelan biaya hingga sepuluh kali lipat dibanding membangun jalan di Pulau Jawa.
Logika keuangan negara seharusnya tidak hanya menghitung angka, tetapi juga memahami jarak. Tidak hanya menimbang efisiensi, tetapi juga menegakkan keadilan.
Gubernur Ansar Ahmad menegaskan, pemerintah pusat perlu mempertimbangkan kondisi geografis Kepri sebagai wilayah kepulauan dan perbatasan dalam setiap kebijakan fiskal. “Pembangunan yang adil bukan berarti memberi sama rata, melainkan memberi sesuai kebutuhan dan tantangan daerah,” ujarnya.
Jika logika fiskal nasional masih diukur dengan “garis lurus Jakarta”, maka jangan salahkan bila daerah seperti Kepri merasa bahwa pembangunan nasional belum sepenuhnya menyentuh tepiannya. (Red)


